Senin, 22 April 2019

Makalah pengertian janji, Macam-macam janji, Hukum memenuhi janji, hukum menepati janji, bahaya ingkar janji, ayat tentang janji

BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Dalam pergaulan kita sehari-hari, ada satu jenis bumbu pergaulan yang disebut
dengan ‘‘janji”. Janji sering digunakan oleh orang yang mengadakan transaksi perdagangan, oleh politikus yang tengah berkampanye, oleh orang yang memiliki hutang tetapi sampai waktunya dia belum bisa memenuhinya, bahkan janji dilakukan pula oleh ibu-ibu kepada anak-anaknya di saat mau pergi ke pasar tanpa mengajak mereka dengan maksud agar si anak rela untuk tidak ikut ke pasar. Mereka begitu menganggap enteng untuk mengucapkan janji.
Ujung-ujungnya, ada di antara mereka yang konsisten dengan janjinya, sehingga dia berupaya untuk memenuhi janjinya itu. Namun ada dan banyak pula di antara mereka yang ingkar janji, sehingga membuat kecewa berat bagi orang yang mendapat janji tadi.
Padahal Rasulullah Saw dengan tegas mengatakan bahwa janji itu adalah hutang dan Allah SWT sendiri telah mengingatkan melalui Al Quran surat Al Isra’ 34 bahwa janji itu harus ditepati, karena janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya.
Di dalam makalah ini, sedikit kami jelaskan tentang tuntutan menepati janji. Kami berharap dengan adanya makalah ini, semoga dapat membantu menghadapi berbagai persoalan yang berkaitan dengan masalah ini.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah pengertian dari janji?
2.      Mengetahui macam-macam janji?
3.      Apakah hukum memenuhi dan hukum ingkar janji?




BAB II
PEMBAHASAN


A.    PENGERTIAN JANJI
Janji menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah perkataan yang menyatakan kesediaan hendak berbuat sesuatu. Pengertian lain janji adalah persetujuan antara dua pihak (masing-masing menyatakan kesediaan hendak berbuat sesuatu).[1]  
Al-Qur’an, menggunakan tiga istilah yang maknanya berjanji, yaitu :
1.      wa’ada. Contohnya :  Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan    yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar
2.      ahada. Contohnya : Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya (Q.S.Al-Mu’minun ).
3.      aqada. Contohnya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.  Aqad (perjanjian) di sini mencakup janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
Satu sifat lagi yang hampir identik dengan dua sifat sebelumnya (shiddiq dan amanah) adalah menepati janji. Menepati janji berarti berusaha untuk memenuhi semua yang telah dijanjikan kepada orang lain di masa yang akan datang. Orang yang menepati janji orang yang dapat memenuhi semua yang dijanjikannya. Lawan dari menepati janji adalah ingkar janji. Menepati janji merupakan salah satu sifat terpuji yang menunjukkan keluhuran budi manusia dan sekaligus menjadi hiasan yang dapat mengantarkannya mencapai kesuksesan dari upaya yang dilakukan. Menepati janji juga dapat menarik simpati dan penghormatan orang lain. Rasulullah Saw. tidak pernah mengingkari janji dalam hidupnya, sebaliknya beliauselalu menepati janji-janji yang pernah dilontarkan. Kita pun sebagai umat Nabi sudahselayaknya meneladani beliau dalam hal menepati janji ini sehingga kita selalu dipercaya oleh orang-orang yang berhubungan dengan kita.Dalam beberapa ayat Al-Qur’an, Allah menegaskan kewajiban orang yang beriman untuk menepati janji.
Janji memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orangtua yang mudah mengobral janji kepada anaknya tapi tak pernah menunaikannya. Betapa banyak orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah menepatinya. Dan betapa banyak pula orang yang berhutang namun menyelisihi janjinya. Bahkan meminta udzur pun tidak. Padahal, Rasulullah telah banyak memberikan teladan dalam hal ini termasuk larangan keras menciderai janji dengan orang-orang kafir. Manusia dalam hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan dengan orang lain. Maka setiap kali seorang itu mulia dalam hubungannya dengan manusia dan terpercaya dalam pergaulannya bersama mereka, maka akan menjadi tinggi kedudukannya dan akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara seseorang tidak akan bisa meraih predikat orang yang baik dan mulia pergaulannya, kecuali jika ia menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Dan di antara akhlak terpuji yang terdepan adalah menepati janji.

B.     MACAM-MACAM JANJI
Sayyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar, membagi janji itu ke dalam tiga bagian, yaitu : janji kepada Allah janji kepada diri sendiri janji kepada sesama manusia. Bagi kita insan beriman, ketiga-tiganya biasa kita lakukan :
1.      Janji kita kepada Allah SWT.
Ketika kita menjalankan shalat, pada doa iftitah kita mengucapkan :
Sesungguhnya shalatku. ibadahku, hidup dan matiku, hanyalah untuk/milik Allah Tuhan Semesta Alam “.Ini adaiah merupakan janji manusia terhadap Allah yang harus ditepati. yakni dengan jalan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. yang menurut syari’ah dinamakan taat, karena manusia ataupun jin diciptakan manusia memang untuk beribadah kepada-Nya.
2.      Janji Terhadap Diri Sendiri
Misalnya seorang mahasiswa mengatakan, “Jika saya lulus ujianku, aku akan menyembelih kambing untuk dibagikan kepada orang lain”.
Seorang yang sakit yang serius, kala itu dia mengucapkan Jika aku sembuh dari penyakitku, aku akan berpuasa tiga hari. “ Kedua hal itu merupakan janji manusia terhadap diri sendiri yang harus ditunaikan, yang dalam bahasa agama disebut dengan nadzar. Ini harus dilaksanakan karena Allah telah berfirman : “ …Dan hendaklah menyempurnakan (memenuhi) nazar mereka… “ (Q.S.Al Hajj 29). Tentu saja nadzar yang harus dipenuhi adalah nadzar yang yang tidak menyimpang dari syari’at agama Islam. Tapi misalnya ada orang yang mengatakan,’’Kalau saya lulus ujian, aku akan potong tangan ibuku.” itu haram dilaksanakan, karena manusia oleh Allah tidak diperkenankan untuk menyiksa diri sendiri ataupun orang lain.
3.      Janji Terhadap Sesama Manusia
Ini banyak ragamnya. Ada yang beijanji dengan seseorang untuk hidup semati, ada yang janji mau membayar hutang setelah rumahnya laku terjual, ada yang janji memberangkatkan haji kepada orang tuanya nanti setelah proyeknya seselai.dll seperti yang sudah kami sebut.
Dan janji ini berlaku dalam berbagai segi kehidupan, sejak dilingkungan keluarga, kehidupan dalam masyarakat hingga urusan kenegaraan. Yang jelas, selagi orang bergaul dan saling membutuhkan dan sementara apa yang dibutuhkan belum terwujud, maka janjilah yang dianggap sebagai solusi sementaranya.

C.    HUKUM MEMENUHI JANJI
Pada dasamya segala janji yang baik yakni janji yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, wajib ditunaikan, wajib dipenuhi. Namun boleh jadi hukum janji itu bisa berubah. Ini menurut M.Yunan Nasution dalam khutbahnya, menjadi :
1.      Sunnah memenuhinya. Artinya boleh ditinggalkan. Misalnya orang yang berjanji untuk meninggalkan sesuatu yang tidak diperintahkan agama. Misainya, sejak hari ini saya tidak akan makan sambal.
2.      Sunnah tidak memenuhinya. Contohnya seperti orang yang berjanji dan bersumpah akan melakukan suatu perbuatan, misalnya jika saya lulus SLTA saya mau kursus menjahit. Ternyata dia berubah pikiran untuk melanjutkan kuliah dan ternyata diridhai orang tua. Maka kursus menjahitnya pun dibatalkan, karena melanjutkan kuliah. Konsekuensinya dia harus membayar kafarat sumpahnya itu. yaitu puasa kafarat 3 hari berturut- turut.
3.      Wajib tidak memenuhi janjinya. Yakni janji untuk berbuat jahat.

D.    HIKMAH MENEPATI JANJI
Ketika semua orang, apa pun status, profesi dan pekerjaannya senantiasa menepati janji yang telah diikrarkannya, maka kehidupan ini akan damai dan indah. Saling percaya, menghormati, dan mengasihi akan merebak di semua sisi kehidupan manusia. Semoga Allah SWT memberi kemampuan kepada kita untuk menjadi orang-orang yang senantiasa menepati janji sebagai wujud ketaatan kepada Allah SWT.  Serta dapat memuliakan dan membina jalinan antar sesama. Beberapa hikmah menepati janji yaitu:
1.      Dengan menepati janji, kita terhindar dari sifat munafik. Sebab, perilaku orang yang munafik salah satunya adalah ingkar janji. 
2.      Dengan menepati janji dapat menjadi jalan untuk masuk surga Firdaus. Surga Firdaus ini hanya diperuntukkan bagi orang yang memiliki sifat-sifat baik.
3.      Dengan menepati janji, kita meneladani sifat Allah, yang tidak pernah mengingkari janji-Nya.
4.      Dengan menepati janji, kita akan dipercaya orang lain. Salah satu sifat Nabi SAW. yang mengantarkannya dipilih Allah menjadi Nabi danRasul-Nya adalah karena ia adalah orang yang tepercaya.
5.      Dengan menepati janji, kita akan menjadi pribadi yang berwibawa, tidak dilecehkan, dan akan mendapatkan prasangka baik dari orang lain.
6.      Dengan menepati janji kita akan terhindar dari dosa besar dan akan meraih keutamaan. Mengingkari janji antara sesama Muslim hukumnyaharam, sekalipun terhadap orang kafir, lebih-lebih terhadap sesama Muslim. Jadi, memenuhi janji termasuk keutamaan, sedangkan mengingkarinya dosa besar.
7.      Dengan menepati janji, jalinan antar individu akan terjalin harmonis dan semakin erat. Menepati janji merupakan wujud dari memuliakan, menghargai, dan menghormati manusia.
8.      Dengan menepati janji, kita digolongkan menjadi golongan Nabi Muhammad SAW.

E.     BAHAYA INGKAR JANJI
Ingkar janji alias berbuat kebohongan. Hampir setiap orang yang pernah berhubungan dengan orang lain kami kira sudah pernah merasakan, betapa pahitnya dibohongi orang lain dengan ingkar janji. Memang ingkar janji itu penuh dengan madharat, banyak sisi negatif yang akan timbul akibat ingkar janji ini. Di antaranya :
1.      Dengan mengingkari janji, orang itu termasuk orang yang munafik. Sebab, perilaku orang yang munafik salah satunya adalah ingkar janji.
2.      Dengan mengingkari janji maka semakin dijauhkan dari surga Firdaus. Sebab, surga Firdaus  hanya diperuntukkan bagi orang yang memiliki sifat-sifat baik.
3.      Dengan mengingkari janji, tidak akan dipercaya orang lain. Bahkan orang-orang terdekat  pun juga tidak akan percaya.
4.      Dengan mengingkari janji, kita tidak memiliki wibawa, sering dilecehkan, dan selalu mendapatkan prasangka buruk dari orang lain
5.      Dengan mengingkari janji, berarti telah melakukan dosa besar.
6.      Dengan mengingkari janji, jalinan antar individu akan terputus bahkan bias saling bermusuhan. Jika orang yang diingkari itu tidak rela, maka akan bereaksi dan timbul kemarahan. Jika marah tak terkendali, bisa menimbulkan pertengkaran, perkelahian, bahkan bisa menyebabkan pembunuhan.
7.      Jika pemimpin ingkar janji terhadap rakyatnya, maka bukan mustahil akan terjadi pemberontakan dan prahara di negerinya. Jika periodenya habis, jangan harap bisa terpilih lagi sebagai pemiumpin. Jika yang ingkar janji suatu perusahaan terhadap karyawannya. sering menimbulkan demo yang bisa membangkrutkan perusahaan itu sendiri.
Allah SWT akan mengutuk keras dan melaknat serta menimpakan bencana terhadap orang yang ingkar janji, baik itu berjanji kepada Allah maupun berjanji terhadap saesama manusia. Ingkar janji adalah merupakan indikasi orang munafiq, karena ciri-ciri orang Munafiq adalah suka berdusta, suka ingkar janji dan suka mengkhianati teman.

F.     AYAT  TENTANG JANJI
Q.s Al-baqarah [2];40
بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ ٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتِىَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَوْفُوا۟ بِعَهْدِىٓ أُوفِ بِعَهْدِكُمْ وَإِيَّٰىَ فَٱرْهَبُونِ                                   
Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).[2]
Q.S Al-baqarah [2];177
لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰب وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ ِ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.[3]
Q.S Ali-imran [3];76
بَلَىٰ مَنْ أَوْفَىٰ بِعَهْدِهِۦ وَٱتَّقَىٰ فَإِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَّقِينَ
(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.[4]

G.    PENAFSIRAN AYAT
1.      Q.s Al-baqarah (40)
Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada kaum bani israil untuk memenuhi janji mereka yang telah mereka nyatakan dalam jiwa mereka yaitu mengikuti tuntutan Allah SWT dan tutntunan nabi-nabi yang diutus oleh Allah SWT niscaya jika mereka memenuhi janji itu maka Allah SWT akan memenuhi janjinya pula yaitu keselamatan dan kesejahteraan hidup didunia serta ganjaran surga diakhirat nanti. Janji mereka kepada Allah anatara lain tunduk dan patuh kepada Allah, mempercayai rasul-rasul yang diutus-Nya, termasuk mengakui dan membela nabi Muhammad SAW.
2.      Q.s Al-baqarah (177)
Ayat ini bermaksud menegaskan bahwa kebajikan yang sempurna ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
3.      Q.S Ali-imran (76)
Dalam ayat ini menegaskan bahwa siapaun yang menepati janjinya, antara lain dengan menunaikan amanah secara sempurna, dan bertakwa yakni mengindahkan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, maka sesungguhnya Allah mencintainya, karena Allah mencintai orang-orang yang bertakwa, yakni menyukai amal-amal mereka sehingga bila mereka mengamalkannya, maka Allah pun menyukai mereka.  

H.    HADIS PENDUKUNG
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
                                                                      آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَا
“Tanda orang munafik itu tiga apabila dia berucap dia berdusta, jika membuat janji dia mengingkari, dan jika diamanahi dia mengkhianati” (HR Al-Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59)

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Ada empat perkara, barangsiapa yang empat perkara itu semuanya ada di dalam dirinya, maka orang itu adalah seorang munafik yang murni dan barangsiapa yang di dalam dirinya ada satu perkara dari empat perkara tersebut, maka orang itu memiliki pula satu macam perkara dari kemunafikan sehingga ia meninggalkannya, yaitu: dan apabila diamanahi dia mengkhianati apabila dia berucap dia berdusta, apabila membuat janji dia mengingkari dan apabila bertengkar maka ia berbuat kecurangan.” (HR. Al-Bukhari no. 34 dan Muslim no. 58)

لَا تُمَارِ أَخَاكَ وَلَا تُمَازِحْهُ وَلَا تَعِدْهُ مَوْعِدًا فَتُخْلِفَهُ
“Janganlah membantah saudaramu, jangan bergurau dengannya dan jangan pula  engkau menjanjikannya suatu janji lalu engkau mengingkarinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1918)



A.    KESIMPULAN
1.      Janji menurut Kamus umum Bahasa Indonesia adalah perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Pengertian lain menyebutkan, bahwa yang disebut dengan janji adalah pengakuan yang mengikat diri sendiri terhadap suatu ketentuan yang harus ditepati atau dipenuhi.
2.      Sunnah memenuhinya. Artinya boleh ditinggalkan. Misalnya orang yang berjanji          untuk meninggalkan sesuatu yang tidak diperintahkan agama. Misainya, sejak hari ini saya tidak akan makan cabai. Sunnah tidak memenuhinya. Contohnya seperti orang yang berjanji dan bersumpah akan melakukan suatu perbuatan, misalnya jika saya lulus kuliah saya mau kerja dibank. Ternyata dia berubah pikiran untuk jadi dosen dan ternyata diridhai orang tua. Maka pekerjaan jadi pegawai bank dibatalkan, karena memilih kerja jadi dosen. Konsekuensinya dia harus membayar kafarat sumpahnya itu. yaitu puasa kafarat 3 hari berturut- turut.
3.      Wajib tidak memenuhi janjinya. Yakni janji untuk berbuat jahat.

B.     SARAN
Seharusnya kita sebagai umat muslim harus lebih berhati-hati dalam berjanji. Karena janji adalah hutang sampai matipun itu akan tetap ditagih. Maka dari itu, apabila kita memang tidak mampu menepati janji hendaknya tidak usah mengatakan janji. Sebab Allah sangat membenci orang-orang yang berbohong ( mengingkari janji ) dan itu merupakan salah satu ciri dari orang yang munafik.



DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mustofa Al-maragi, Tafsir Al-maragi (semarang : CV.Toha putra semarang, 1992) cet 2, hlm.51
ibid, hlm. 364
ibid, hlm. 118
Shihab, M.Quraish, Tafsir Al-mishbah Pesan, Kesan  dan Keserasian Al-Qur’an  (ciputat : lentera hati, 2000), vol 1, hlm. 165
W.J.S poerwadarmita, kamus umum bahasa Indonesia (Jakarta : balai pustaka, 2011), Cet. 10, hlm.469     



Minggu, 21 April 2019

Akad kerja sama (al-Mudharabah)

KERJA SAMA: AL-MUDHARABAH



    A. Pengertian al-Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal[1].

B. Jenis-jenis al-Mudharabah
Akad mudharabah jika dilihat dari segi transaksi yang dilakukan pemilik modal dengan pekerja oleh ulama fiqih dibagi menjadi dua, diantaranya:

  • Mudharabah muqayyadah adalah penyertaan modal dengan syarat-syarat tertentu. Artinya tidak semua usaha bisa dijalankan dengan modal tersebut, jadi hanya usaha yang telah ditentukan (perjanjian) yang boleh dikelola.
  • Teknis mudharabah muqayyah dalam bank adalah akad kerjasama antara shahibul maal dengan bank. Modal yang diterima dari shahibul maal dikelola bank untuk diinvestasikan ke dalam proyek yang ditentukan oleh pemilik modal terkait. Hasil keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai nisbah yang telah disepakati bersama.
  • Contoh produk Mudharabah Muqayyadah adalah

a.       Mudharabah muqayyadah on balance sheet (investasi terikat) adalah pengelolaan dana yang mempunyai syarat sehingga mudharib hanya melakukan mudharabah dibidang tertentu, waktu, cara, dan tempat tertentu saja.
b.      Mudharabah muqayyadah of balance sheet adalah jenis mudharabah yang penyerahan dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya[2].

C.     Landasana Syariah al-Mudharabah
                 Pada dasarnya landasan dasar syari’ah mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk  melakukan usaha. Landasannya tersebut terbagi menjadi tiga macam, yaitu
1.       Al-Qur’an, terdapat dalam QS al-Muzzammil ayat 20, al-Jumu’ah ayat 10, dan al-Baqarah ayat 198. Ayat-ayat yang senada masih banyak yang terdapat dalam al-Qur’an yang dipandang oleh para fuqoha sebagai basis dari yang diperbolehkannya mudharabah. Kandungan ayat-ayat tersebut mencakup usaha mudharabah karena mudharabah dilaksanakan dengan berjalan-jalan di muka bumi dan ia merupakan salah satu bentuk mencari keutamaan Allah.
2.       Al-Hadits
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Mutholib “jika memberikam dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berdahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah saw. Dan Rasulullah pun membolehkannya.” (HR Thabrani)
Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah no. 2280, kitab at-Tijarah)
3.        Ijma
Imam Zailai telah memyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatin secara mudharabah[3].


        D.  Aplikasi al-Mudharabah Dalam Perbankan

Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al mudharabah diterapkan pada:
1.     Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban dan sebagainya
2.     Deposito special (special investmen), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabah saja atau ijarah saja.

Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk;
1.     Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa
2.     Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengaaan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul mal[4].




[1] Muchtar Ali. 2013. Buku Saku Perbankan Syariah. Jakarta : Kementrian Agama Republik Indonesia
[3] http://makalah-makalah-makalah.blogspot.com/2014/03/makalah-mudharabah.html 
[4] http://makalahstain.blogspot.com/2012/06/mudharabah-dan-aplikasinya-pada.html


Sabtu, 20 April 2019

Ketentuan dan Rukun Produk-produk Jasa Bank Syari’ah

  Ketentuan dan Rukun Produk-produk Jasa Bank Syari’ah


  •       Ketentuan dan rukun wakalah
Rukun wakalah beserta ketentuan-ketentuannya antara lain:
a.       Pemberi kuasa (muwakil) dengan ketentuan bahwa:
1)      Harus seorang pemilih sah yang bertindak terhadap sesuatu yang ia wakilkan
2)      Orang mukalaf/anak muwayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya.
b.      Penerima kuasa (wakil) dengan ketentuan bahwa:
1)      Harus cakap hukum
2)      Dapat melaksanakan tugas yang di wakilkan kepadanya
3)      Wakil adalah orang yang diberi amanat
c.       Objek yang dikuasakan (taukil) dengan ketentuan bahwa :
1)      Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili
2)      Tidak bertentangan dengan syari’ah islam
3)      Dapat diwakilkan menurut syari’ah islam
d.      Ijab qabul (sighat)
Ketentuan wakalah yang harus diikuti berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) :
1)      Pernyataan ijab qabul harus dinyatakan oleh pihak untuk menunjukkan kehendak  mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
2)      Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.

  •         Ketentuan dan Rukun Kafalah
Rukun Kafalah
a.       Pihak penjamin atau Kaafil
b.      pihak yang dijamin atau makful
c.       Obyek penjaminan atau makful ‘alaih
d.      Ijab qobul atau shighat

  •        Ketentuan dan Rukun Hiwalah
Rukun hawalah
a.       Rukun dan syarat-syarat hiwalah
1)      Rukun hiwalah
Menurut hanafiyah rukun hiwalah hanya satu yakni ijab dan Kabul anatara yang menghilawakan dengan yang menerima hiwalah. Sedangkan menurut syafi’iyah bahwa rukun hiwalah itu ada empat yaitu: pertama; muhil (menghilawahkan), kedua; muhtal (dihilawahkan), ketiga; muhal’alaih (orang yang menerimahiwalah), keempat; shighat hiwalah yaitu ijab dari muhil.
2)      syarat-syarat hiwalah
a)      yang memindahkan utang
b)      yang menerima hiwalah adalah orang yang berakal
c)      yang dihilawahkan juga harus orang berakal
d)     keridhaan ketiga pihak yang bersangkutan dalam hawalah. Yakni hawalah itu baru terlaksana apabila ketiganya sepakat menerima dan melaksanakannya.
e)      Hutang yang dipindahkan itu mesti jelas jumlahnya dan sifatnya
f)       Hutang yang dipindahkan itu sama dengan hutang yang baru mengenai besar dan sifatnya.
b.      Ketentuan hawalah berdasarkan ketentuan fatwa DSN (Dewan Syari’ah Nasional)
1)      Orang-orang yang terlibat dalam hawalah.
2)      Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh pihak untuk menunjukan kehendak mereka dalam mengadakan akad.
3)      Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau         menggunakan cara-cara komununikasi yang modern.
4)      Hawalah harus dilakukan dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih.
5)      Apabila transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal muhal ‘alaih dan hak penagihan mulai berpindah kepada muhal ‘alaih.

  •       Ketentuan dan Rukun Rahn
Rukun Ar-Rahn
a.       Ijab qabul (serah terima)
b.      Orang yang menggadaikan dan menerima gadai akil baligh, dan dilarang menggunakan harta sesuai dengan kemauannya
c.       Adanya barang yang digadaikan
d.      Adanya hutang
Ketentuan rahn yang menurut ketentuan DSN:
a.       Murtahin mempunyai hak untuk menahan marhum sampai semua hutang raahin dilunasi.
b.      Marhum dan manfaatnya tetap menjadi milik raahin.
c.       Pemeliharaan dan penyimpanan marhum pada dasarnya menjadi kewajiban raahin, namun dapat dilakukan  juga oleh murtahin, sdangkan biaya pemeliharaan serta penyimpananya tetap menjadi kewajiban raahin.
d.      Besar pemeliharaan dan penyimpanan marhum tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
e.       Penjualan marhum.

  •       Ketentuan dan Rukun Qardh
Rukun Qardh
a.       Obyek yang berutang/muqtaridh
b.      Pemberi pinjaman/muqridh
c.       Mustaridh/orang yang mempunyai utang
d.      Ijab qabul/ sighat
Ketentuan Qard:
a.       Ketentuan umum
1)      Al-qard adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah yang memerlukan.
2)      Nasabah qard wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama.
3)      Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.
4)      Bank dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana diperlukan.
5)      Nasabah qardh dapat memberikan tambahan dengna sukarela selama tidak diperjanjikan dalam akad.
b.      Ketentuan lain, yaitu : 
1)      Dana qardh dapat bersumber dari bagian modal LKS
2)      Dana qardh dapat bersumber dari keuntungan LKS yang disisihkan
3)       Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS. [1]





[1] Fasiha, s.ei.,m.ei, Islamic finance (konsep dan aplikasi dalam lembaga keuangan syariah), (palopo: laskar perubahan, 2016) 

Makalah pengertian janji, Macam-macam janji, Hukum memenuhi janji, hukum menepati janji, bahaya ingkar janji, ayat tentang janji

BAB I PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG Dalam pergaulan kita sehari-hari, ada satu jenis bumbu pergaulan yang disebut dengan ...